KALTIM – Banyak dari petani sawit yang berasal dari Berau tengah menjerit disaat export telah dibuka, sebab harga sawit dipasaran tidak sesuai apa yang mereka harapkan dengan alasan banyak aturan telah diaudit untuk perusahaan komoditas tersebut.

Baca Juga : 210 Petani Hadiri Pelatihan Budidaya Kelapa Sawit

 

Seorang petani sawit, Muhammad Syarki mengatakan bahwa harga sawit pada daerahnya semakin hancur dan sudah banyak yang tidak ingin membeli.

 

“Tambah hancur harga sawit, disini sudah banyak tidak mau beli buah,” ungkap Syarki.

 

Lanjutnya, tidak hanya harga sawit yang anjlok namun aggaran yang harus dikeluarkan untuk pupuk dan herbisida atau pestisida sangat sedangkan hasil dari penjualan sawit tidaklah seberapa.

 

“Harga pupuk & Herbisida atau Pestisida naik hingga ratusan persen, sedang hasil pertanian kami dihargai sangat rendah, tiap hari ada laporan turun harga,” ujarnya.

 

Imbasnya, Lanjut Syarki, banyak pabrik sawit yang tutup karena goncangan harga tersebut dan keuntungan yang makin sedikit dari hasil penjualan serta ongkos untuk panen tidaklah sedikit.

 

“Banyak tutup pabrik, pengepul untung sedikit, sampai kepetani hasil sangat kecil, mana lagi ongkos panen mahal,” lanjut Syarki.

 

Tambahnya, yang menjadi korban dari kebijakan yang kurang efisien tersebut adalah masyarakat bawah, berbanding terbalik dengan para pemilik pabrik dan exportir.

 

“Jadi intinya orang kecil jadi korban bahkan tumbal kebijakan kurang tepat, Konglomerat sangat di untungkan (pemilik pabrik)  dan exportir,” katanya.

 

Untuk diketahui, perubahan harga sawit pada tiap daerah tidak merata. Ada daerah yang sudah naik harganya, namun di beberapa daerah lain seperti di Berau ini sangat merosot yang dulunya berada pada angka Rp.3.500 sekarang Rp1.500, bahkan menyentuh dibawah Rp1000.